IPK, PENGANGGURAN, dan KESEMPATAN KERJA


Kata rekan saya, seorang self-made entrepreneur, ”Jaman sekarang, susah sekali nyari karyawan yang jujur, capable, berdedikasi tinggi, dan bisa diandalkan untuk kemajuan perusahaan.”

Kata teman saya, lulus sarjana beberapa tahun lalu tetapi belum mendapatkan pekerjaan yang settle, ”Perusahaan sekarang suka rewel, buka lowongan ’semau gue’ dengan spesifikasi yang aneh-aneh dan sulit dipenuhi. Pekerjaan jadi susah dicari.”

Ketika mewisuda lulusannya, salah seorang dekan business school terkemuka di Amerika selalu berpidato, “Kita harus memberikan respek kepada mereka yang mempunyai nilai A, karena mereka akan kembali ke almamater menjadi dosen dan melupakan duniawi. Namun kita harus lebih membungkukkan kepala kepada mereka yang mendapat nilai B dan C, karena mereka akan kembali lagi ke kampus dengan menyumbang laboratorium, auditorium, serta menjadi penyandang dana.”

Menurut Suara Merdeka, ”Sampai akhir 2005, tingkat pengangguran merangkak naik mencapai tidak kurang dari 9,9%, Pada awal 2006, tingkat pengangguran tersebut diperkirakan masih akan meningkat menjadi lebih dari 11%.”

Sementara Kompas edisi Sabtu, 20 Mei 2006 menulis, ”Per Februari 2005, dari 155,5 juta angkatan kerja, 10,85 juta adalah pengangguran terbuka. Padahal, per Agustus 2000, dari 95,70 angkatan kerja, “hanya” 5,87 juta yang merupakan pengangguran terbuka.”

Dari ilustrasi, data, dan fakta di atas, kita bisa lihat betapa ”besarnya” kontribusi pendidikan terhadap terbukanya lapangan pekerjaan. Negeri ini mungkin punya ribuan sarjana multi-jurusan yang diyakini bisa berpikir analitis, mampu menciptakan perubahan dalam masyarakat, tetapi toh ternyata mereka belum mampu membantu diri mereka sendiri. Ini belum termasuk opportunity cost yang keluar ketika melanjutkan kuliah setamat SMU. Mengapa tidak menggunakan waktu dan biaya untuk berwiraswasta saja?
Seharusnya..

Idealnya, kampus seharusnya bisa membangun linkage yang ideal antara lulusan sekolah menengah dengan lapangan pekerjaan di dunia nyata. Bagi top-tier business school di dunia, ini bukan masalah. Mayoritas lulusan kerja mereka sukses dan mendapatkan pekerjaan dengan gaji 2-3 kali dari jumlah yang mereka investasikan untuk kuliah di business school tersebut.

Bagaimana di Indonesia?

Sayangnya, di Indonesia, gap tersebut terasa begitu kentara. Ijazah sarjana tidak lagi sakral saat ini. Hal ini juga didukung fakta bahwa banyak perguruan tinggi negeri yang membuka kelas diploma, program ekstensi/swadaya, kelas malam, fast-track program, dan seterusnya. Perguruan tinggi swasta juga bermunculan tak kalah banyaknya. Akibatnya, ijazah sarjana semakin mudah (walau belum tentu murah) diperoleh. Kondisi ini masih diperparah dengan perguruan tinggi “biasa-biasa saja” yang mengobral nilai, sementara perguruan tinggi top justru dipenuhi dosen killer yang sulit memberi nilai A.

Selain dituntut menjadi linkage yang kokoh, kampus juga selayaknya bisa menjadi inkubator bisnis yang kuat. Tidak banyak orang yang tahu bahwa Sun Microsystems adalah kepanjangan dari Stanford University Network, karena memang perusahaan ini memulai bisnisnya dari lingkungan kampus. Dan satu lagi, Google dan Yahoo!, juga sama-sama lahir dari kegiatan intelektual di universitas. Malah, Google adalah hasil dari proyek disertasi kedua pendirinya. Baik Google, Yahoo!, atau Sun Microsystems, masing-masing telah bertumbuh menjadi perusahaan besar dengan tingkat profitabilitas yang luar biasa.

Inilah salah satu bukti bahwa kampus, selain menjadi linkage bagi lapangan pekerjaan di dunia nyata, juga bisa menjadi inkubator yang hebat. Tanpa membunuh spirit dan mengekang kebebasan berpikir siswa didiknya. Sayangnya, lagi-lagi di Indonesia belum memiliki perguruan tinggi yang cukup mumpuni untuk menjadi inkubator bisnis yang handal.
Menurut Saya..

Dari situlah saya coba menyusun beberapa intisari berikut. Tujuannya jelas. Agar kita mencapai kesuksesan sesuai dengan kapasitas kita. Baik itu sebagai seorang pengusaha, businessman, karyawan, atau seorang siswa/mahasiswa. Antara lain sebagai berikut.

Sekolah itu (tetap) penting. Coba Anda lihat di sekeliling kita. Ada berapa banyak macam pekerjaan? Ratusan. Ribuan bahkan. Seharusnya, secara logika harus terdapat puluhan ribu macam sekolah/kampus/jurusan. Tentu saja ini tidak mungkin dilakukan. Jadi, sekolah memang tidak bisa menjadikan lulusannya benar-benar 100% siap kerja –kecuali sekolah/kursus setir mobil.

Saya bukan bermaksud menyatakan bahwa sekolah tidak penting. Sekolah dan ijazah, bagaimanapun juga, membuat entry barrier untuk mencari kerja lebih baik dibanding jika kita tidak sekolah dan tidak berijazah. Sekolah juga merupakan tempat terbaik untuk akses pengetahuan terkini, plus akses bagi orang-orang top di lingkungan akademis.

Belajar, lifelong education, juga penting. Menyambung poin di atas, sekolah memang hanya bisa mengajarkan prinsip-prinsip umum dan rerangka berpikir yang logis, analitis, dan sistematis. Jangan berharap sekolah akan menjamin pekerjaan kita kelak. Sebaliknya, sebagai siswa kita dituntut untuk bisa berpikir dan mengembangkan terus cara berpikir kita. Biarlah sekolah berkonsentrasi pada penciptaan perangkat berpikir.

Jadi, jadilah proaktif. Hidup adalah belajar. Jangan menyalahkan sekolah karena keterbatasan sekolah dalam mengajarkan materi teknis atau memberi jaminan bagi pekerjaan pasca kelulusan. Jangan pula terpaku bahwa konsep belajar hanya bisa dilakukan di sekolah. Sabda nabi, ”Tuntutlah ilmu sejak di tiang ayunan hinga di liang lahat.” Dalam statement yang lain, nabi juga bersabda,”Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina.”

Tapi memberi kontribusi adalah yang terpenting. Lifelong education will make live easy. Belajar dan berpikir adalah mulia, tetapi akan menjadi sia-sia bila tidak diaplikasikan dalam dunia nyata. Ilmu dan pengetahuan juga akan menjadi useless ketika pemiliknya tidak bisa menularkan wisdom tersebut kepada orang lain. Jika sebagian dari kita ada yang sukses di bidangnya, kemudian menularkannya pada orang lain, multiplier effect yang muncul untuk penciptaan dunia yang lebih baik adalah luar biasa besarnya. Dan semakin tinggi pengaruh seseorang, semakin tinggi pula eksistensi yang dimilikinya, karena pengaruh tersebut bisa melintasi ruang, waktu, dan bahkan, melampaui ajal.

Sungguh. Begitu banyak orang-orang pintar memenuhi penjuru dunia, tetapi sering lamban dalam mengambil keputusan-keputusan bisnis karena harus menyesuaikan dengan text-book. Kalau saya tanyakan bagaimana mengubah Rp 50 juta menjadi Rp 1 milyar dalam 12 bulan, mungkin bisa dijawab dalam sekian menit. Tapi melakukannya dalam tindakan yang konkrit? I doubt it.

Sekolah nyambi kerja/organisasi itu perlu. IPK tinggi memang penting. Akan tetapi, perusahaan kini juga memperhatikan aktivitas ekstrakurikuler seseorang ketika akan melakukan rekrutmen. Tujuannya jelas. Mereka ingin meng-hire a ”well-rounded” person, bukan semata-mata nerd.

Sekolah mengajarkan kita tentang kepemimpinan -tapi hanya dengan pengalaman berorganisasilah kita benar-benar bisa menguasai manajemen konflik dan kepentingan. Kuliah memaparkan kita tentang prinsip-prinsip budgeting –namun hanya dengan magang di sektor ritel kita bisa benar-benar memahami tentang stock opname dan expense budget.

Berinvestasilah pada human capital dan social network. Pengusaha sukses jelas tidak melakukan segalanya seorang diri. Ia menyewa orang untuk membantu dirinya dalam berbisnis. Kalau orang tersebut menghasilkan output lebih besar dari input, berarti ia memberi kemakmuran bagi perusahaan. Orang-orang tersebut mungkin telah menghabiskan waktu untuk bersekolah dan menimba pengalaman. Tanpa mereka, mustahil seorang pengusaha meraih kesuksesan.

Bisnis hanya bisa dicapai melalui jejaring sosial yang kuat dan luas. Untuk membangunnya, jelas diperlukan pengorbanan waktu dan tenaga yang luar biasa. Inilah satu-satunya aset yang paling berharga sehingga menimbulkan barrier to entry yang tinggi dan menjadikannya sulit direplikasi dengan mudah. Dengan demikian, Anda akan berada pada bisnis dengan tingkat kompetisi yang rendah; dan keuntungan jauh di atas normal memang mudah untuk diperoleh.

Going Global. Kompas edisi Sabtu, 20 Mei 2006 juga menulis, ”Bangsa ini juga menagalami brain drain untuk sumber daya manusianya. Tenaga terdidik dan profesional yang seharusnya bisa ikut membangun negara ini dibajak atau memilih hengkang ke negara lain.” Going global ataupun knowledge transfer adalah perlu –tapi jangan lupakan nasionalisme.

Baik Anda sebagai seorang pengusaha, atau seorang pekerja, sudah selayaknya Anda memiliki persepsi dan paradigma untuk bersaing dalam tataran bisnis di dunia global. Ada teknologi. Ada internet. Kalau Anda butuh pekerjaan di dunia global, bisa coba Jobs/Monster, Rent-a-Coder, atau eLance. Kalau Anda ingin merintis bisnis perdagangan internasional, bisa dimulai dari eBay Stores, atau Alibaba. Yang jelas, siapkan diri Anda untuk bersaing dengan mereka-mereka di luar sana. Dan jangan abaikan nasionalisme.

Jangan mudah terpikat pada “Cara Cepat Jadi Kaya”. Setelah era Kiyosaki, kian banyak pakar/pembicara/motivator yang kemudian menggampangkan cara menjadi kaya, apalagi dengan penekanan pada aspek non teoretis. Kalau sebuah bisnis bisa berjalan tanpa perlu teori, logikanya entry barrier bisnis tersebut sangat rendah dan orang yang tidak tahu teori (plus semua yang tahu teori) bisa terjun dalam bisnis itu. Dalam lingkungan yang overcrowded tersebut, profitabilitas pada tingkat yang normal saja menjadi sulit karena dipenuhi banyak pesaing. Inilah konsekuensi dari Red Ocean.

Andaikata buku/training/seminar tersebut memaparkan tentang entry barrier, jualan mereka menjadi kurang laku. Sejujurnya, yang mereka jual adalah ”mimpi indah”. Semakin sesuatu kelihatan gampang dikerjakan (tanpa perlu sekolah, tanpa perlu teori, dan seterusnya), semakin ”mimpi” itu terasa gampang dicapai, dan semakin laku pula para penjual mimpi tersebut. Best seller!

Jadilah unik. Silakan Anda membantah, tapi Tuhan sudah menentukan tiap manusia dengan bakat, talenta, lengkap dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Beethoven, adalah jenius dalam bermusik walau menderita bisu dan tuli –tapi jangan suruh dia menghitung kalkulus. Goethe adalah piawai dalam sastra dan bahasa –tapi jangan paksa ia menulis simfoni. Newton adalah pakar dalam fisika dan mekanika –tapi jangan bayangkan ia menyair atau menulis puisi. Beckham mungkin piawai dalam mengumpan bola dan melakukan tendangan bebas -tapi jangan suruh ia memprogram komputer.

Jadi, temukan keunikan dalam diri Anda. Kembangkan keunikan tersebut agar menjadi keunggulan kompetitif yang sulit disaingi orang lain. Keunggulan tersebut akan membedakan Anda dari orang lain dan pada akhirnya menaikkan nilai jual Anda.

Work hard, play hard. Dalam Qur’an 13:11 tertulis, ”Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Jadi jelas, kalau kita menginginkan kesuksesan, maka berencanalah dengan matang, berodalah secara khusyuk, berusahalah dengan sekuat tenaga, dan serahkan hasilnya pada Tuhan. Percayalah, rejeki bukan di tangan Tuhan –tapi ada di tangan (usaha) kita sendiri.

Oh iya, self-made entrepreneur yang saya sebut di paragraf awal tadi tidak pernah membaca buku-buku ”Get Rich Quick” atau mengikuti seminar ”Cara Cepat Jadi Kaya”. Beliau menikmati pekerjaannya sembari menikmati hasil dari apa yang beliau usahakan. Sementara orang lain sibuk memikirkan (memimpikan) passive income, beliau malah menikmati real income yang menumpuk di tangannya.

Respect the others. Last but by no means least, IPK tinggi atau rendah, sarjana atau bukan, valid atau tidak valid –itu urusan masing-masing. Menjadi pengusaha, businessman, atau pekerja (karyawan) yang biasa-biasa saja –itu adalah soal pilihan hidup. Hidup adalah pilihan, dan setiap pilihan mengandung risiko masing-masing.

Manusia memang tercipta dengan berbagai perbedaan yang tak mungkin disatukan. Jadi, jangan memaksakan orang lain untuk berpikir dan bertindak sesuai cara kita. Begitu pula, jangan merendahkan dan menghina mereka yang ada di bawah level kita ataupun iri dan berburuk sangka terhadap mereka yang berada di atas kita.
Penutup

Anyway, sudah pernah dengar anekdotnya Larry Ellison, founder of Oracle? Kata beliau kuliah itu cuma dapat BS (bull shit), kemudian MS (more shit), dan setelah itu PhD (pile high and deep).

Kata dia mendingan drop out dan mulai jadi wiraswasta.



sumber : Nofie Iman
A notable words of Nofie Iman, a business consultant, majoring at investment and strategic management issues.
May 21st, 2006

0 wong ngacor:


Blogspot Template by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by ArchitecturesDesign.Com Beautiful Architecture Homes